Standar Pajak Warteg Dinaikkan

Ilustrasi

JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengubah standar minimum wajib pajak bagi restoran dan sejenisnya termasuk warung tegal (warteg).

Rencananya, ketentuan pajak 10 persen akan dikenakan terhadap restoran yang beromzet Rp500.000 per hari atau Rp182 juta setahun. Semula, restoran maupun warung makan yang beromzet Rp167.000 per hari atau Rp60 juta setahun dikenai ketentuan tersebut. Namun, karena banyak menuai protes dari publik rencana tersebut dibatalkan.

Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan, ketentuan tersebut berlaku secara umum, tidak hanya bagi pengusaha warteg. Menurut dia, pengusaha makanan dan minuman berbayar seperti kantin, kafetaria, warung makan di pinggir jalan juga dikenai pajak 10 persen jika omzetnya mencapai Rp500.000.

“Awalnya penetapan omzet Rp167.000 per hari dianggap LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) sangat kecil,maka kebijakan ini ditunda dan mungkin diubah menjadi Rp500.000 atau bahkan Rp700.000 per hari,” kata Iwan di Jakarta kemarin.

Pihaknya menargetkan, ketentuan ini berlaku efektif mulai 2012. Iwan menambahkan, Pemprov DKI mengalami kerugian 10 persen dari total pendapatan sektor pajak tahun 2011 sebesar Rp900 miliar.

Sementara itu, Ketua Harian Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MKPI) Riant Nugroho meminta besaran minimum penerimaan kena pajak harus ditetapkan secara benar dan tidak semena- mena.

Menurut dia, rencana menerapkan pajak 10 persen bagi rumah makan yang beromzet Rp500.000 per hari merupakan tindakan sewenang- wenang. “Untuk membuat fair, maka kita perlu melihat kriteria usaha kecil antara lain memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1 miliar,”ungkap Riant.

Selain itu, pihaknya menilai pemerintah belum mempunyai keahlian yang cukup dalam merumuskan kebijakan publik dengan memanfaatkan metode “sensitivitas kebijakan”.Yakni, semacam simulasi yang dibuka kepada stakeholder berapa beban finansial yang diberikan dan berapa beban ekonomi secara keseluruhan kepada pelaku dan pengguna.
Menurut Riant,dengan penetapan pajak 5 persen saja, harga makanan dapat naik sampai 20 persen. Misalnya, di Malaysia ketika terjadi kenaikan harga gula dan bahan bakar kurang dari 5 persen, justru mendorong kenaikan harga makanan sampai 25 persen. “Pasar bukan sektor yang dapat diatur pemerintah, jadi jika ada kebijakan yang akan mengganggu pasar, pemerintah harus lebih hatihati dan cermat,” terangnya.

Sementara itu, Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI Jakarta sedang mengkaji penerapan pajak restoran dan rumah makan sebesar 10 persen yang mulai berlaku tahun ini. Namun, Balegda memastikan ketentuan tersebut tidak berlaku untuk warteg.

Ketua Balegda Triwisaksana mengatakan, kajian tersebut dilakukan setelah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengembalikan perda mengenai pajak restoran. Namun, Balegda belum bisa melakukan kajian secara mendalam karena surat dari Pemprov DKI Jakarta baru diterima. Meski demikian, Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini meminta pengusaha warteg tidak resah dengan aturan pajak 10 persen bagi pengusaha yang berpenghasilan di atas Rp60 juta.

“Selama pajak restoran ini (yang lama) berlaku, maka warteg dan warung kecil lainnya tidak dikenakan. Jadi, tidak perlu khawatir,” kata Triwisaksana. Wakil Ketua DPRD DKI ini berjanji dalam pembahasan mengenai pajak restoran tidak akan memberatkan masyarakat kecil.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More