Polda Bali Tangani 30 Kasus Adat dan Agama

Ilustrasi polisi

DENPASAR - Hingga akhir tahun 2010, Polda Bali telah menangani sedikitnya 30 kasus adat dan agama. Mulai dari sengketa tanah, lahan kuburuan perubahan status kasta, hingga menyangkut keyakinan.
Menurut Kabidhumas Polda Bali Kombes Pol I Gde Sugianyar Dwi Putra, banyaknya kasus bernuansa adat yang terjadi sepanjang tahun 2010, penyelesaiannya belum berjalan efektif.

“Ada sekira 30 kasus konflik bernuansa adat dan agama yang masuk ranah hukum baik ditangani kepolisian dan juga puluhan kasus lainnya yang diselesaikan sendiri oleh masyarakat setempat,” ujar Suginyar dalam Forum Sarasehan Pemuda Lintas Agama Provinsi Bali di Gedung Jaya Sabha, Renon, Denpasar, Sabtu (4/12/2010)

Dia menyebutkan ada bermacam-macam kasus mulai sengketa batas tanah warisan leluhur, lahan kuburan, perubahan status kasta dan nama serta masalah agama dan kepercayaan.

“Bali sebagai kota tujuan wisata terkenal dunia yang dibingkai agama Hindu, mestinya tidak ada konflik sosial dalam bentuk apa pun,” kata dia.

“Namun faktanya dari tahun ke tahun konflik sosial tetap saja terjadi, sampai saat ini kita belum menemukan solusi tepat guna menyelesaikanya,” katanya dengan nada prihatin.

Sugianyar lantas menjelaskan, pengalaman kepolisian dalam menangani konflik bernuansa adat dan agama hingga saat ini, ternyata tidak efektif dalam mencegah munculnya konflik horizontal dan vertikal tersebut.

Dia mengakui, hingga kini berbagai kasus yang ditangani kepolisian belum membuahkan hasil efektif. “Konflik adat hanya bisa diselesaikan secara adat, karena kenyataannya dengan hukum positif tidak memberikan efek signifikan,” tandasnya.

Keberadaan Forum Kerukunan Antarumat Beragama (FKUB) Bali, kata Sugianyar, diharapkan bisa memberi kontribusi dalam merumuskan solusi nyata dan terbaik dalam menyelesaikan konflik sosial di Bali.

Dimata Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang tampil sebagai pembicara kunci, yang terjadi di Bali sebenarnya bukan konflik adat dan budaya. “Fakta menunjukkan, sebenarnya konflik tersebut bersumber pribadi-pribadi tertentu lalu dibawah ke ranah sosial budaya, sehingga yang muncul keluar adalah konflik sosial budaya,” ujarnya menerangkan.

Bahkan Pastika menilai sumber konflik tersebut berasal dari faktor ekonomi, pendidikan, dan semakin mahalnya harga lahan di Bali saat ini. Seluruh penyebab ini masuk ke ranah sosial budaya dan masyarakat menyikapinya secara budaya.

Akibatnya, kasus tersebut berkembang akhirnya menjadi konsumsi media dan masyarakat Bali secara keseluruhan mendapat getahnya.

Menurut dia, masyarakat Bali pada dasarnya tidak mengenal konflik bila belajar dari kearifan lokal yang ada di Pulau Dewata. “Adat Bali tidak mengenal anarkis karena filosofi Tri Hita Karana sudah merangkum semuanya,” paparnya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More