Demokrat Tengah Pertontonkan Tirani Mayoritas?

Ilustrasi

JAKARTA - Sikap politik Partai Demokrat dalam perkara RUU Keistimewaan Yogyakarta menuai kritikan. Dalam kaitan ini Partai Demokrat dituding mengabaikan realitas politik yang menghendaki penetapan Sultan secara otomatis sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tidak ada yang salah dari usulan Partai Demokrat untuk memposisikan Sultan netral atau mendorong Gubernur DIY dipilih melalui mekanisme Pilkada. Itu adalah gagasan ideal, tapi bukan berarti harus vulgar.

“Jangan ada tirani mayoritas, yang dipertontonkan Demokrat kan bisa dilihat sebagai tirani mayoritas karena mengabaikan sentimen publik,” tuding pengamat politik dari Universitas Paramadina Moh Ikhsan Tuleka kepada okezone di Jakarta, Minggu (12/12/2010). “Mentang-mentang partai pemenang pemilu, lalu apa pun gagasannya harus dijalankan.”

Dalam pandangan Ikhsan, aspek paling penting dalam sebuah kebijakan adalah psikologis publik. Apalagi, kata dia, dalam kasus ini warga Yogyakarta masih dalam suasana duka.

“Asap Merapi belum betul-betul hilang, api sudah mulai dibakar ditengah kota. Amarah Merapi belum reda, sekarang amarah publik dirangsang. Kalau bukan tirani mayoritas apalagi sebutannya itu,” ujarnya.

Legitimasi politik, sambung dia, memang mendukung pihak-pihak tertentu untuk meloloskan keinginannya. Namun sejatinya demokrasi tidak berbicara mengenai hal semacam itu saja. “Penghargaan dan toleransi, itu yang tidak tercermin dalam kebijakan Partai Demokrat dan SBY,” tandasnya.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Ahmad Mubarok secara tegas membantah tudingan bahwa partainya tengah mempraktekkan tirani mayoritas. Komposisi anggota partainya sebesar 30 persen di parlemen tidak menjamin kepentingan Partai Demorkat bisa mulus begitu saja.

“Sama sekali kami tidak mampu melakukan tirani mayoritas, wong cuma 30 persen. Sementara justru teman-teman koalisi menggunakan kasus Yogja untuk kepentingan masing-masing. Yang memaksa dan dipaksa siapa,” tanyanya.

Sikap Partai Demokrat, kata Mubarok, dalam kasus RUU Keistimewaan Yogyakarta sudah jelas. Yaitu menampung keistimewaan Yogyakarta dalam sistem. Persoalan apakah draf RUU diterima atau tidak, menjadi hak sembilan fraksi di DPR. “Hanya itu, kami serahkan ke DPR kalau setuju silakan, kalau tidak setuju ya tidak apa-apa,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Mubarok menjelaskan latarbelakang Partai Demokrat pro pemilihan langsung. Yaitu perlu adanya pembatasan wewenang dan pengaturan tanggung jawab Sultan serta harmonisasi posisi Sultan dengan aturan tentang Pilkada.

“Orang sering melupakan Sultan itu tidak punya atasan, atasannya Tuhan. Tuhan yang bisa menegur Sultan. Presiden tidak bisa menteri tidak bisa. Tapi kalau gubernur ada atasannya, ada Mendagri ada DPRD ada presiden. Sultan pun tidak harus mempertanggungjawabkan kinerjanya, tapi gubernur harus memberikan laporan pertanggunganjawaban,” terangnya.

Dua item di atas, yaitu keistimewaan Yogyakarta dan berjalannya sistem kenegaraan, kata Mubarok, harus ditampung di dalam format sistem. Sehingga keistimewaan Yogyakarta sebagai kekayaan budaya tetap terpelihara tapi sistem kenegaraan juga berjalan. “Demokrat tidak punya kepentingan apa-apa, tidak ingin jadi sultan atau apa-apa,” tandasnya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More